Minggu, 02 September 2018

Pembentukan Kartar Plampitan RT.01 / RW.02

Pembentukan anggota Karang Taruna Arek Plampitan RT.01 & pembahasan program kerja baru tahun 2018,Minggu 02 September 2018 di Delta Fishing sidoarjo bersama para senior dan Bapak Ketua RT beserta Wakil RT.01 Plampitan.







Jumat, 31 Agustus 2018

Tunjungan Plaza : Mall Terbesar Di Surabaya

  Tunjungan pada awal abad ke-20. Banyak pohon berdiri di tepi-tepi jalannya dan pejalan kaki masih bisa jalan di tengah jalan dengan aman. Banyak bangunan bangunan bersejarah di sepanjang jalan Tunjungan ini, salah satunya terdapat Hotel Orange yang sekarang berubah menjadi Hotel Majapahit, lokasinya juga berada di Jl. Tunjungan


Pada tahun 1930an toko serba ada Aurora didirikan di Jalan Tunjungan hampir di ujung utara yang berhadapan dengan Toko Siola. Aurora (bahasa latin) berarti Dinihari. Gedung ini dibangun dengan arsitektur modern yang bergaya Art Deco dipengaruhi dengan gaya Streamline Moderne dan Kubisme. Saya tidak tahu dengan pasti arsiteknya siapa. Mungkin sekali arsitek adalah Karel Bos dari Malang. Pada tahun 1960an Toko Aurora menjadi bioskop Aurora.
Di lokasi fotografer sebuah jembatan penyeberangan dibangun pada tahun 1980an yang sekarang sudah tutup. Setelah gedung Aurora terbakar tempatnya semrawut.





Pertigaan Tunjungan - Genteng Besar mengarah ke utara. Trem uap baru lewat. Di kejauhan kita melihat kepul asap. Paling kanan orang mengumpulkan kotoran kuda yang bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Semua bangunan di kartupos ini sudah hilang. Sekarang di pojok ini terdapat sebuah pos polisi dan toko mobil Honda. Trem uap diganti bis kota.



 Pada tahun 1935 dua gedung pertokoan simetris yang sangat indah dibangun dalam gaya arsitektur Art Deco dipengaruhi dengan gaya Streamline Moderne dan Kubisme. Arsiteknya adalah biro AIA. Toko itu disebut Toko Kembar. Di toko kembar kiri (Jl Tunjungan No. 82) terdapat sebuah toko kesenian yaitu toko Mattalitti. Toko ini menjual pelat gramofon juga. Di dinding depan ada papan iklan “His masters voice” dengan gambar seekor anjing duduk menghadap corong suara. Sekarang ditempati warung makan "Rawon Setan"

Pada tahun 1935 dua gedung pertokoan simetris yang sangat indah dibangun dalam gaya arsitektur Art Deco. Arsiteknya adalah biro AIA. Toko itu disebut Toko Kembar. Di toko kembar kanan terdapat “Java Stores”. Di toko kembar kiri terdapat sebuah toko kesenian yaitu toko Mattalitti. Toko ini menjual pelat gramofon juga. Di dinding depan ada papan iklan “His masters voice” dengan gambar seekor anjing duduk menghadap corong suara. Di seberangnya berada apotik Rathkamp & Co. Jalan tunjungan dilintasi trem listrik dan bis kota. Kita melihat beberapa sepeda juga. Foto ini dibuat pada sesuatu hari raya karena jalan sepi dan banyak bendera berkibar



Sumber : djawatempodoeloe.multiply.com

Gemblongan : Kampung Lawas yang mempunyai sejarah

 Gemblongan yang pada waktu itu baru dibangun. Pada tahun 1908 sampai 1930 pembangkit listrik ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Eletriciteits Maatschappij = Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda) berdiri di jalan ini. Perusahaan ini memakai mesin generator dengan bahan bakar disel untuk membangkitkan listrik yang dipakai untuk menerangi kota. Gedung di tengah foto dengan atap tinggi adalah kantor ANIEM yang dibangun pada tahun 1908 juga. Pada tahun 1930 pembangkit listrik dipindahkan dan dibagian ini dibangun kantor ANIEM yang baru. Pembangunan kantor ini merupakan perluasan dari kantor lama. Perancangnya adalah biro arsitek "Job & Sprey" (kini PT Yodya Karya) yang berkedudukan di Surabaya. Arsitektur bergaya Art Deco tercampur dengan gaya Modernisme. Di pola ini banyak permainan garis-garis geometris. Dipermukaannya banyak permainan garis-garis vertikal dan horizontal.

Setelah kemerdekaan gedung ini menjadi milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kedua bagian kantor dari 1908 dan 1930 masih berdiri dengan kondisi cukup bagus dan renovasi-renovasi kecil tidak menghancurkan keindahaan aslinya. Sayangnya panorama di Jl Gemblongan banyak berubah. Semua halaman sudah penuh dibangun dengan toko-toko baru yang berlomba-lomba dalam kejelekan.



 Sumber : djawatempodoeloe.multiply.com



























Sejarah Kota Surabaya

Sejarah Kota Surabaya

Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang diambil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja pertama Mojopahit melawan pasukan Cina.

Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.


Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai hari Pahlawan.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut.

Surabaya (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII (bait ke 5, baris terakhir)

Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M Pprasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.

Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.

Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kekuatan dilakukan dipinggir sungai Kalimas dekat Peneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Kata “ SURABAYA “ juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya)

Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarahwan yang dibentuk oleh Pemerintah Kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “Sura ing Bhaya” yang berarti “ Keberanian menghadapi bahaya “ diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.


Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan Sura dan Buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan Sura dan Buaya diceritakan oleh LCR. Breeman seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.

Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPDRS kota besar Surabaya yang keputusan No. 34/DPRS tanggal 19 Juni 1955 diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I No. 193 tahun 1955 tanggal 14 Desember 1956.


Sumber : karepkucok.wordpress.com

Hotel Orange : Sejarah Perebutan Sang Merah Putih


Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) adalah “Grand Hotel” paling lama di Indonesia yang tetap buka sampai hari ini. Hotel yang beralamat di Jalan Tunjungan No 65 ini didirikan oleh seorang pedagang Armenia namanya Lucas Martin Sarkies (1852-1912). Hotel dibangun dalam gaya arsitektur Art Nouveau berdasarkan karya arsitek James Afprey. Proses pembangunan dimulai pada tanggal 1 juni 1910 oleh putra dari Lukas Martin Sarkies.
Hotel dibuka pada tahun 1911 dengan nama “Hotel Oranje”. Hotel dinamai dengan nama keluarga kerajaan Belanda “Oranje”. Tapi Hotelnya tidak berwarna oranye sama sekali. Sebelumnya keluarga Sarkies sudah mendirikan beberapa hotel mewah dan ternama di Asia antara lain Hotel Niagara di Lawang (1911), Hotel Sarkies (kini Kartika Wijaya) di Batu (1891), Eastern (1884) dan Oriental Hotel (1885) di Penang Malaysia, Strand Hotel di Rangoon Myanmar (1901) dan Raffles Hotel di Singapura (1887).

Keadaan gedung pada tahun 1920an tidak beda banyak dari awalnya. Hanya bagian pintu masuk sedikit direnovasi. Dengan menara kembar di bagian pintu masuk dan dengan dua blok (bagian kamar) di sisi kanan dan kiri yang menjorok ke depan, arsitektur Hotel Oranje sangat ngetrend pada tahun 1915 dan menjadi inspirasi untuk Hotel Palace di Malang (1915). Dengan 163 kamar Hotel Oranje adalah hotel paling besar, paling modern dan paling keren di Surabaya.
Setiap sisi deretan kamar dihubungkan oleh koridor yang sisi luarnya dihiasi dengan motif lengkung. Sehingga kalau jendela-jendela kamar dibuka, ruangan atau kamar tersebut akan terlindung dari sinar matahari langsung ataupun dari tempias air hujan.

 Pada tahun 1935 kedua menara dihancurkan untuk membuat perluasan baru dibagian depan. Di depan lobi lama dibangun lobi baru yang digunakan hingga sekarang. Lobi baru ini dibangun untuk merayakan ultah hotel ke-25 dengan gaya arsitektur art deco berdasarkan karya arsitek ternama Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949). Dia juga adalah arsitek dari Villa Isola di Bandung. Dengan perluasan baru tersebut Hotel Oranje menjadi salah satu dari hotel paling indah dan paling mewah di seluruh dunia. Upacara pembukaan pada tahun 1936 dihadiri oleh pemain film terkenal dari Inggris namanya Charles Chaplin (1899-1979) bersama calon istri Paulette Goddard (1910-1990). Waktu itu di gedung hotel sudah berada toko eskrim Hoen Kwee dan toko buku Van Dorp.
 Pada masa pendudukan Jepang, Hotel ganti nama menjadi Yamato Hoteru dan fungsinya berubah menjadi markas militer dan penjara khusus untuk perempuan dan anak-anak. Setelah kapitulasi Jepang Hotelnya dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees).
Pada tanggal 19 september 1945 disini terjadi Insiden Bendera. Tiga ekstremis kolonial Belanda bernama Ploegman, Lansdorp dan Jack Boer mengibarkan bendera merah-putih-biru di menara hotel ini. Para pejuang indonesia menaiki menara tersebut dan menyobek bagian biru dari bendera Belanda dan diubah menjadi bendera Merah Putih Indonesia. Insiden bendera itu juga mengakibatkan terbunuhnya Pak Ploegman. Nama Oranje dipakai sampai tahun 1957. Waktu itu hotelnya dinasionalisasikan dan diganti nama menjadi Hotel Majapahit. Disebabkan oleh manajemen yang jelek, hotel ini pelan-pelan menjadi penginapan bobrok dan murahan.

Tahun 1996 grup Mandarin Oriental membeli gedung ini dan melakukan restorasi yang intensif. Kondisi Hotel dikembalikan ke keadaan lama dan menjadi hotel di Surabaya yang paling keren dengan bintang 5 lagi. Semua 163 kamar dan suites berhiaskan benda seni yang asli dan mebel antik juga. Interiornya dilengkapi dengan fasilitas terbaik: dapur kecil, pengering rambut, tv, penyejuk udara, koran harian, minibar, brankas, dan internet. Juga ada aula konferensi untuk 450 tamu, toko bakery “Deliâ”, salon, bar dan restoran ero-asia “Indigo” dan restoran seafood “Sarkies”, poolside bar “Palem”, tea lounge dengan musik live dan wifi. Tersedia fasilitas rekreasi dan bersantai termasuk sauna, pijat, jakusi, lapangan tenis, spa, gym, kolam renang serta pusat kebugaran.
 Semua 163 kamar dan suites berhiaskan mebel antik yang asli. Interiornya dilengkapi dengan fasilitas terbaik: dapur kecil, pengering rambut, tv, penyejuk udara, koran harian, minibar, brankas, internet, ruang tamu dengan cukup kursi dan kamar tidur dengan tempat tidur ekstra besar.

Sumber: djawatempodoeloe.multiply.com

Gedung Siola: Cagar Budaya Bersejarah


           
                   Gedung Siola Surabaya berdiri memanjang di Jalan Tunjungan dan Jalan Genteng Kali, membentuk bangunan menyudut di pertemuan kedua jalan. Gedung ini sedang dalam tahap akhir renovasi ketika saya berada di sana untuk menjadi pusat perbelanjaan baru bernama Tunjungan City, kabarnya setelah tiga tahun terlantar bak gedung hantu.
                   Namun upaya menghidupkan kembali Gedung Siola sebagai pusat bisnis tampaknya menghadapi kendala, sehingga sejak 2015 Gedung Siola telah dialihfungsikan menjadi Kantor Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya, kantor Badan Koordinasi Pelayanan dan penanaman Modal (BKPPM), serta Museum Surabaya.
                   Gedung Siola Surabaya merupakan bangunan tua warisan dari jaman kolonial Belanda yang dibangun pertama kali pada 1877 dan ditempati toko Whiteaway Laidlaw & Co milik pengusaha Inggris, Robert Laidlaw (1856-1935), yang menjual tekstil dan pakaian, dan kemudian sempat berkembang menjadi toserba terbesar di wilayah Hindia Belanda.

Gedung Siola Surabaya dengan latar depan monumen perjuangan dan tengara yang menceritakan bahwa ketika terjadi serangan tentara Sekutu pada 10 November 1945 di Surabaya, tank-tank Sekutu yang datang dari arah Utara ditahan oleh para pejuang di sekitar Gedung Siola dan diserang dari atas gedung dalam sebuah pertempuran yang seru.
                    Gedung Siola Surabaya yang waktu itu masih Toko Chiyoda, terbakar habis dalam pertempuran itu. Gedung ini mendapatkan namanya ketika dibuka pada 1960-an sebagai Toko Siola (dari nama pemiliknya, yaitu Soemitro - Ing Wibisono - Ong - Liem - Ang), namun ditutup pada 1998. Dibuka lagi pada 1999 sebagai Ramayana Siola, bertahan sampai 2008.

                   Pandangan lebih dekat pada patung yang menjadi tengara beralangsungnya peristiwa heroik di sekitar dan di dalam Gedung Siola Surabaya. Saat foto ini diambil belum ada papan nama menempel pada bagian depan gedung ini. Pada jaman dahulu di bagian depan bangunan ini terdapat papan nama memanjang yang ditulis memakai huruf besar yang berbunyi "Het Engelsche Warenhuis", atau toserba Inggris.Sebelum bangunan Gedung Siola Surabaya didirikan, daerah Tunjungan berada di sisi selatan Kota Soerabaia (ejaan Surabaya saat itu). Setelah tembok benteng kota yang memisahkan Kota Bawah (Benedenstad) dengan Soerabaia Lama (Oud Soerabaia) dibongkar pada tahun 1880, wilayah Tunjungan kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan baru. 
                    Teks pada prasasti berbunyi "Serangan sekutu 10 November 1945, menggerakkan kekuatan militernya secara total. Tank Sekutu yang datang dari arah utara ditahan oleh pejuang Indonesia di sekitar dan dari atas gedung yang bernama Whiteaway Laidlaw ini. Pertempuran berlangsung seru. Akhirnya gedung terbakar habis dibumihanguskan oleh Pemuda Indonesia."
Sedangkan tulisan dalam bahasa Inggris berbunyi "The Allied attack on November 10, 1945 was a combined action in full battle order. The Indonesian fighters countered the tanks with machine gun from the street corners and from the upper stories of this building, the former Whiteway, which was totally burned down in the action." 

                      Penampakan Gedung Siola Surabaya diambil dari sisi Jalan Genteng Kali, dengan kanopi tambahan yang belum ada pada bangunan aselinya. Setelah Robert Laidlaw meninggal dunia pada 1935 dan perusahaannya ditutup, gedung megah berlantai tiga ini kemudian berpindah tangan pada 1940 ke pemodal asal Jepang dan menjadi Toserba Chiyoda.
                     Setelah dialihfungsikan oleh Pemkot Surabaya, pada 3 Mei 2015, Walikota Surabaya Tri Rismaharini meresmikan pembukaan Museum Surabaya yang menempati ruangan yang ada di lantai dasar Gedung Siola ini. Ketika beberapa waktu yang lalu sedang berada di Surabaya, kami sempatkan berkunjung ke museum yang menyimpan benda-benda bersejarah bagi Kota Surabaya itu.
Upaya menghidupkan kembali gedung tua ini tampaknya tidak begitu mudah. Sewa mahal yang dikeluhkan bisa jadi hanya merupakan salah satu faktor saja yang menjadi kendala. Semoga saja setelah digunakan oleh Pemkot sebagai Museum Surabaya dan sejumlah fungsi lainnya, Gedung Siola akan kembali bersinar dan menjadi salah satu ikon kota Pahlawan ini. 


Sumber : aerobinang travelog & djawatempodoeloe

Plampitan: Kampung Tempo Doloe


               Foto diatas adalah Pemandangan Sungai Kalimas tempoe dulu di Sepanjang Jalan Plampitan (kini di Jl. Ach Jais). Plampitan adalah salah satu kampung yang ada di Kota Surabaya, pelampitan berarti perajin lampit (tiar rotan). Dahulu kampung ini punya industri rumah tangga pelampitan. Jalan Plampitan sebelah kanan melewati Jalan Makam Peneleh dan Jembatan Peneleh.
               Kalimas dilintasi perahu gaya gondola Venesia. Di latar belakang terlihat gedung ANIEM (kini PLN) yang dibangun pada tahun 1930. Di sebelah kanan dari kantor ANIEM terlihat pom bensin BMP yang terletak di ujung utara Jl Gemblongan. Di belakang itu terlihat kompleks pertokoan/perkantoran dengan 4 menara putih (hanya 2 menara terlihat) yang dibangun pada tahun 1920. Di sebelah kanan dari kompleks tersebut terlihat gedung putih bergaya Art Deco yang simetris yaitu gedung Singer yang terletak di Alun-alun Contong.
               Kalimas dilintasi perahu gaya gondola Venesia. Di latar belakang terlihat gedung ANIEM (kini PLN) yang dibangun pada tahun 1930. Di sebelah kanan dari kantor ANIEM terlihat pom bensin BMP yang terletak di ujung utara Jl Gemblongan. Di belakang itu terlihat kompleks pertokoan/perkantoran dengan 4 menara putih (hanya 2 menara terlihat) yang dibangun pada tahun 1920. Di sebelah kanan dari kompleks tersebut terlihat gedung putih bergaya Art Deco yang simetris yaitu gedung Singer yang terletak di Alun-alun Contong.


Sumber : djawatempodoeloe 

Rabu, 29 Agustus 2018

Wajah tim sukses kita



  • Wajah wajah tim sukes arek Plampitan Rt.01/Rw.02

Video Kita


Seru seruan lomba kita


Malam Perayaan HUT RI th 2017



Menyanyikan lagu kebangsaan negara kita itu adalah salah satu cata kita untuk mengenang jasa para pahlawan sebelum kita merdeka

Keseruan tim panitia



Kalian memang " GOKIL ABISSS......"

Ekspresi para pemenang






Keseruan arek plampitan



     Tua muda juga tak kalah,ikutan tampil

Pak Lurah Peneleh ikutan eksis


Kostum terbaik Agustusan 2017

 
   Salah satu kegiatan tiap tahun warga Plampitan Rt.01/Rw.02, kostum terbaik Agustusan 2017

Arek Plampitan : Tim Sukses 17 Agustus


         Lelah,capek,Letih,semua jadi satu.
Ketika semua sudah terlaksana, rasanya ada kebanggaan tersendiri menjadi seorang panitia,meski hanya di kampung,setidaknya bisa memberikan inspirasi buat para adik adik penerus kita kelak,bisa merangkul mereka untuk bergorganisasi dengan masyarakat.Kalian Luar Biasa,semangat terus buat generasi selanjutnya.

Roeslan Abdulgani : Menteri yang Cerdas & Intelektual

 

     Lahir tanggal 24 November 1914, dia adalah Cak Roeslan Abdulgani atau dikenal dengan sebutan Cak Roes ,salah satu mantan menteri luar negeri di era 1956-1962 yang rumahnya berada di Plampitan VIII/34-36.

      Desain Artistik & kolonial terkesan sangat erat ketika memasuki ruangan di rumah ini, di setiap sudut ruangan terdapat foto-foto lawas yang terpajang rapi, disinilah Cak Roes menghabiskan masa kecilnya.Cak Roes dikenal sebagai salah satu tokoh yang intelektual & cerdas, yang sangat menyayangi keluarganya. Beliau dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat merakyat. 
      Cak Roes memilih meninggalkan Plampitan dan memilih menetap di Jakarta ketika ada  Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1995. Dan rumah dikampung Plampitan di tempati keluarga Adiknya.Memasuki  kampung dimana Cak Roes tinggal, anda akan di bawa ke sebuah rumah ber-cat kuning,dengan bangunan yang masih kuno, arsitektur dalam bangunan tersebut masih tertata rapi, mulai dari kursi rotan, ruang kerja Sang Tokoh dan juga buku-bukunya,semua masih tertata dengan sagat rapi. Bahkan kursi goyang rotan  yang menjadi kesayangan cucu Cak Roes pun masih tampak kokoh & terawat.Cak Roes meninggal di Jakarta, 29 Juni 2005 ( pada umur 90 tahun )
       Untuk melestarikan salah satu cagar budaya,yang ada di Plampitan, salah satu keluarga Cak Roeslan mendirikan sebuah Cafe yang bernama Cafe The Omah. Cafe The Omah ini dikelola oleh salah satu keluarga Cak Roes yang sampai saat ini masih menempati rumah tersebut,agar rumah sang tokoh tetap terawat dengan baik.Buat yang pensaran dengan rumah Cak Roes, kamu bisa berkunjung ke alamat diatas.



google-site-verification" content="iiyLDDp6vhKkuSH-69hqKl3BYsCsfcDnrozZT6DQIfQ

Kampung Lawas Plampitan

Memasuki Kampung Plampitan , serasa kita masuk dan kembali ke Era Perjuangan para pahlawan dalam memeperebutkan kota Surabaya. Disini, di te...